dakwatuna.com - Seringkali orang bertanya kenapa
agama dibawa-bawa dalam politik atau politik membawa-bawa agama. Dan
sering timbul pertanyaan, bagaimana dapat suatu partai politik
didasarkan kepada agama, seperti halnya dengan partai politik Islam,
Masyumi pada era Bung Karno.
Pertanyaan itu timbul sebab
seringkali orang mengartikan yang namanya agama itu hanyalah semata-mata
satu sistem peribadatan antara makhluk dengan Tuhan Yang Maha Kuasa
saja. Definisi ini mungkin tepat bagi bermacam-macam agama. Akan tetapi
tidak tepat bagi agama yang bernama Islam yang hakikatnya lebih dari
sekedar itu.
Jika kita meminjam perkataan seorang orientalis,
H.A.R. Gibb, maka kita dapat simpulkan dalam sebuah kalimat, “Islam is
much more than a religious system. It is a complete civilization.” Islam
itu adalah lebih dari sistem peribadatan. Ia adalah satu kebudayaan
yang paling lengkap sempurna!
Lebih dari itu!
Islam
adalah satu falsafah hidup, satu levens-filosofie, satu ideologi, satu
sistem perikehidupan untuk kemenangan manusia sekarang dan nanti.
Oleh karena itu bagi kita seorang Muslim tidak dapat melepaskan diri dari politik. Dan sebagai orang berpolitik, kita tidak dapat melepaskan diri dari ideologi kita, yakni ideologi Islam. Bagi kita, menegakkan Islam tidak dapat dilepaskan dari menegakkan masyarakat, menegakkan Negara, menegakkan kemerdekaan.
Islam dan penjajahan adalah paradox, satu
pertentangan yang tak ada persesuaian di dalamnya. Dengan sendirinya
seorang muslim, seorang yang berideologi Islam, tak akan dapat menerima
penjajahan bagaimana pun bentuknya. Memperjuangkan dan mempertahankan
kemerdekaan bagi kita, bukan semata-mata lantaran didorong oleh aspirasi
nasionalisme atau kebangsaan. Akan tetapi, hakikatnya adalah karena
kewajiban yang tidak dapat dielakkan oleh tiap-tiap muslim yang
mukallaf.
Maka dapat dimengerti bahwa di dalam sejarah negeri
kita, Indonesia, dalam menentang penjajahan dan kolonialisme, kaum
muslimin dari abad ke abad tampil terdepan dengan semangat perjuangan
dan pengorbanan yang menyala-nyala. Perjuangan Imam Bonjol, Diponegoro
yang kesemuanya adalah pendekar muslim Indonesia, menjadi sumber
inspirasi bagi bangsa kita dan keturunan selanjutnya.
Bukan kita
hendak berbangga dengan jasa-jasa mereka. Kita juga tak ingin bermegah
dengan perbuatan orang-orang yang telah mendahului kita. Tetapi revolusi
yang meletus di tanah air kita pada tahun 1945 lalu cukup memberi
ukuran bagi kita, dan umat Islam sekarang ini, sebuah pembuktian bahwa
ruh Islamnya tidaklah mati. Bahkan ia adalah sumber yang tak kunjung
kering, pendorong yang mahahebat dalam perjuangan menentang penjajahan
apapun bentuknya. Sejarah membuktikan bahwa umat Islam Indonesia
tidaklah kalah dari umat Islam di Negara lain. Ia bahu-membahu berjuang
dan berjihad dalam pelbagai lapangan dengan tujuan yang satu, Allah.
“Katakanlah
(Muhammad), inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku
mengajak (kamu) kepada jalan Allah dengan yakin. Mahasuci Allah dan aku
tidak termasuk orang-orang musyrik.” (QS. Yusuf: 108)