
Fraksi-PKS Online: Anggota Komisi IV DPR RI dari FPKS, Nabiel Almusawa menilai kementerian kehutanan selama ini selalu berpihak kepada pengusaha. Perusahaan yang diberi izin pengelolaan hutan sangat banyak, saat ini sekitar 545 perusahaan leluasa mengeruk 5 juta hektar lahan hutan.
"Saat ini Kementerian Kehutanan adalah penguasa yang dekat ke pengusaha," cetus Nabiel dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi IV DPR dengan Direktur Jenderal (Dirjen) Bina Produksi Kehutanan, Hadi Daryanto dan Dirjen Planologi Kehutanan, Soetrisno, Rabu (17/2).
Menurut Nabiel, kehadiran banyak perusahaan, dengan community development-nya, seharusnya bisa mensejahterakan masyarakat sekitar lahan hutan yang dikelola. "Nyatanya, masyarakat sekitar perusahaan tetap miskin. Apa saja yang telah diperbuat untuk kesejahteraan masyarakat?", imbuh pria yang akrab dipanggil Habib ini.
Diantara perusahaan-perusahaan itu ada perusahaan tambang asing yang beroperasi di wilayah hutan. "Mereka terus berproduksi. Kekayaan kita diangkut ke luar negeri. Hutan kita hancur, sementara masyarakat sekitar tetap saja sengsara", sesalnya.
Selain ketidakadilan ekonomi, Nabiel juga menyinggung soal reduksi emisi gas karbon dan pelepasan kawasan hutan bagi peruntukan lain.
Terkait emisi karbon, Habil menanyakan bagaimana Indonesia menargetkan pengurangan emisi karbon sebanyak 26%. Dimana dari target tersebut, 14% diantaranya disumbang oleh kehutanan.
Sedangkan mengenai Soal pelepasan kawasan hutan bagi peruntukan lain, DPR meminta agar kawasan hutan yang sudah dilepas, namun setelah sekian lama tidak juga dikelola, ditarik kembali oleh negara sebagai konservasi. Pelepasan kawasan hutan diatur dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Peraturan Pemerintah (PP) No 10 Tahun 2010 tentang Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan.
"Kementerian Kehutanan diminta tetap mengawasi kawasan hutan yang sudah dilepas itu. Karena di kawasan itu masih banyak pohon kayunya. Jika tanpa pengawasan, justru di kawasan itu berpotensi terjadi kerusakan hutan besar-besaran", pinta Nabiel.
Menanggapi kritik dan saran tersebut, Hadi Daryanto beralasan selama ini pihak perusahaan pemegang HPH telah mengambil langkah efisien. Dana community development diberikan kepada para tokoh masyarakat sekitar hutan. Harapannya, para tokoh mengelola dana tersebut untuk kesejahteraan masyarakat. Tetapi nyatanya tidak demikian. Untuk mengantisipasi agar hal tersebut tidak terulang di masa mendatang, dalam waktu dekat Kementerian akan menerbitkan PP tentang community development.
Analisa sementara kemiskinan di masyarakat sekitar hutan, menurut Hadi terjadi karena dua hal. Pertama, karena orang miskin tidak punya akses legal. Kedua, orang miskin tidak punya akses ke pembiayaan.
Untuk akses legal, telah diatasi dengan keluarnya PP No. 6 tahun 2007 sehingga dengan demikian orang miskin punya akses legal. Untuk akses pembiayaan, sekarang telah ada BLU/Badan Layanan Umum. Melalui lembaga ini, pemerintah menyalurkan dana untuk membiayai Hutan Tanaman Rakyat (HTR) dan hutan desa.
Akan ditata kembali area kerja Hutan Tanaman Industri (HTI). Semula: 70% area untuk tanaman pokok, 10% kawasan lindung, 10% tanaman unggulan, 5% tanaman kehidupan/pangan (untuk masyarakat) dan 5% untuk sarana prasarana. Prosentase ini nanti akan dirubah. Untuk tanaman kehidupan/pangan akan ditingkatkan mencapai 10%.
Adapun strategi besar penurunan emisi dilakukan dalam dua hal. Pertama, bagaimana menyerap CO2 dari udara yaitu dengan menanam. Kedua, bagaimana agar karbon yang ada di tanaman tidak keluar. Untuk hal ini di tahun 2010 akan ada program menanam pohon pada 500 ribu hektar lahan di kawasan hutan kemasyarakatan. Dana yang diusulkan Rp. 5 juta per 11 hektar.
Sedangkan soal pelepasan kawasan hutan bagi peruntukan lain terutama untuk HPH /HTI, kebijakannya adalah jika tidak ada kegiatan pengelolaan lahan selama 6 bulan maka ijinnya dicabut. Dan dalam waktu dekat akan dikeluarkan PP tentang Tanah-Tanah Terlantar.