JAKARTA, jpnn.com - Ketegangan di internal koalisi SBY telanjur mengeras. Komentar yang bernada saling serang terus saja terjadi. Misalnya, terkait dengan proses hukum yang belakangan ini menimpa sejumlah kader PDIP, Partai Golkar, dan PKS.
Ketua DPP PKS Agus Purnomo mengatakan, pada era Orba, Soeharto menggunakan kekerasan sebagai alat manajemen konflik. Sekarang pada era SBY, instrumen yang digunakan adalah kasus-kasus hukum. "Setiap yang melawan, kasus hukumnya diangkat," kata Agus dalam diskusi Konsolidasi Partai Pasca Pecahnya Koalisi dalam Pansus Century di Plaza FX, Senayan, Jakarta Pusat, kemarin (23/3).
"Kader PDIP dan Gokar dalam kasus suap (pemilihan Deputi Gubernur Senior Miranda Goeltom, Red). PKS kasus L/C Misbakhun. Yang lain tinggal menunggu saja," bebernya.
Menurut Agus, momentum waktu pengungkapannya memang penuh nuansa politik. Di antara banyak daftar kasus, kata dia, tinggal 'dimainkan' kasus mana yang didahulukan untuk diproses dan mana yang tidak diungkap dulu.
"Bisa saja berdalih scheduling atau kasusnya banyak sehingga menunggu waktu. Tapi, kasus suap BI itu kan kasus lama. Dan, mengapa Misbakhun setelah jadi inisiator baru diungkap, sejak dulu kan seharusnya sudah mengerti," ujarnya.
Dia menambahkan, KPK sebagai salah satu institusi penegak hukum mau tidak mau harus berhadapan dengan situasi yang tidak kondusif itu. "Sebab, dia bagian dari alat untuk me-manage konflik," ujarnya. Apalagi, dua pimpinan KPK, seperti Bibit dan Chandra, "terselamatkan" berkat keluarnya surat keputusan penghentian penuntutan (SKPP). Itu juga berpotensi memengaruhi keputusannya karena ada utang budi.
PKS, menurut Agus, memandang kasus Misbakhun secara proporsional. Meski turut mendampingi, PKS tidak akan mengintervensi lembaga penegak hukum. "Kalau sudah sampai proses hukum, kami harus off. Artinya, pendampingan iya karena ini anggota kami. Tapi, kami nggak bisa campur tangan mendesak penyidik tolong dihentikan," ujarnya.
Agus mengatakan, kasus Bibit-Chandra dan kasus Bank Century tergolong sebagai skandal. Kasus itu menurunkan popularitas SBY. Apalagi, SBY dipersepsikan, terutama oleh kelas menengah, sebagai hero di bidang pemberantasan korupsi. "Bahkan, besannya (Aulia Pohan, Red) pun dipenjara karena terkait korupsi," kata Agus.
Dengan menggunakan kasus-kasus hukum sebagai alat manajemen konflik, imbuh dia, diharapkan terjadi ?keseimbangan baru". Sebab, pasca Bibit-Chandra dan Century, publik memersepsikan pemerintah jahat. Jadi, itu hanya untuk mengembalikan pencitraan atau menekan koalisi? "Apa saja yang dapat. Politik kan begitu," jawab Agus.
Di tempat yang sama, Ketua DPP Partai Demokrat Jafar Hafsah mengatakan, SBY tidak berkepentingan dengan pencitraan. Bahkan, survei terakhir saat Century tengah mencapai puncaknya, kata dia, menunjukkan bahwa persepsi publik terhadap SBY tetap tinggi, sekitar 70 persen.
Dengan nada jengkel, dia menyebut PKS boleh saja mundur dari koalisi kalau memang sudah tidak sepaham lagi. "Tidak ada kami punya pekerjaan untuk mengungkit-ungkit itu (kasus-kasus hukum, Red). Jangan terlalu menyalahkan Demokrat," katanya.
Menurut Jafar, Demokrat dan SBY tidak pernah mengintervensi penegakan hukum. "Tidak ada manajemen konflik di sini dengan menggunakan kasus hukum. Kebenaran jangan ditutupi. Lihat hukumnya bagaimana," tegasnya.