dakwatuna.com – Dalam potongan sejarah dunia kampus
selalu mencatatkan perubahan besar. Kita dapat melihat bagaimana
pergolakan kampus mampu meruntuhkan kekuasaan para rezim otoriter.
Kekuasaan otoriter Soekarno berakhir dalam pelukan demonstrasi
mahasiswa. Sang Bapak Bangsa “Soeharto” tak ketinggalan merasakan
bagaimana kekritisan mahasiswa. Mereka dipaksa mundur kaum muda akibat
kegagalan mengelola bangsa menuju alam lebih baik. Dalam tataran
gagasan, banyak perubahan Indonesia juga banyak bermula dari pemikiran
aktivis kampus. Nilai strategis itu melahirkan sebutan “kampus adalah
miniatur negara”. Jika ingin menatap masa depan sebuah negara, lihat
bagaimana pergolakan dunia intelektual di kampus.
Gerakan tarbiyah
sendiri mulai merambah kampus sekitar tahun 1980-an. Banyak pemikiran
Ikhwanul Muslimin Mesir menginspirasi kalangan muda tarbiyah. Pesona
pemikiran tokoh IM semisal Hasan Al Banna, Sayyid Quthb, Sayyid Sabbiq
memenuhi dialektika mahasiswa. Para mahasiswa mendapatkan sentuhan segar
indoktrinasi ke-Islaman. Mahasiswa diajak berpikir bagaimana hidup
secara Islami menggantikan pemikiran sekuler. Mentoring tumbuh menjamur
di pelosok kampus baik negeri atau swasta. Sikap simpatik aktivis
dakwah membuat pengaruh tarbiyah merasuki kehidupan mahasiswa. Di pojok
kampus lantunan Al-Qur’an menggema, menggeser kebiasan nongkrong yang
tidak produktif.
Kaum tarbiyah tak hanya menawarkan sentuhan nilai
ruhani. Justru tanpa disadari dari masjid kampus perlawanan terhadap
rezim Soeharto bermunculan. Aktivis tarbiyah mulai merintis gerakan
menumbangkan kekuasaan Soeharto dan membangun konsep Indonesia baru.
Mereka berhasil mengamankan diri dari serbuan agresivitas aparat karena
tipikal gerakan yang defensif. Sebuah generasi yang siap menggantikan
kepemimpinan kaum tua. Mereka selalu dihinggapi keresahan akibat
struktur kehidupan bernegara yang timpang. Dampak krisis ekonomi 1997
dimana rakyat sengsara, membuat kekritisan kaum mahasiswa terus
bertambah. Aksi kaum mahasiswa yang dipelopori anak muda tarbiyah makin
marak. Puncaknya 21 Mei 1998, terjadi gelombang perubahan bertajuk
reformasi.
Kaum Intelektual Prestatif
Seringkali
sebagai mahasiswa kita salah kaprah dalam memaknai prestasi. Kita
mengalami redefinisi prestasi sebagai sebuah nilai kebanggaan atas nilai
keduniaan. Prestasi menjadi terbatas sebagai nilai IPK tinggi, harta
yang banyak dan kehidupan mewah. Tidak dapat disalahkan memang, sebab
ukuran keberhasilan seringkali atas perspektif duniawi. Tapi sebagai
aktivis tarbiyah, kesalahan paradigma itu harus diluruskan untuk
menciptakan momentum perubahan. Kampus berpeluang besar mencerdaskan
salah kaprah yang selalu terjadi. Tanpa menghilangkan makna diatas, kata
prestasi harus diberikan nilai tambah bernama keimanan. Sebab dasar
keimanan mampu membentuk moralitas dan menghasilkan manusia cerdas.
Dalam
dunia kampus, makna prestasi tidak hanya IPK tinggi. Perlu ada
redefinisi bagaimana merumuskan penilaian mahasiswa berprestasi. Kita
jangan terjebak penyempitan makna, sehingga terjebak pada generalisasi
kata prestasi. Mahasiswa sebagai kaum intelektual jangan terjebak pada
pragmantisme sempit. Ketika rutinitas akademik menjebak, persoalan lain
tidak mampu tertuntaskan. Maka pengetahuan harus sinergis dengan nilai
religius. Penulis mencoba mengurai,tiga kebiasaan membentuk mahasiswa
tarbiyah yang selalu segar dan energik.
Pertama membaca sebagai
energi utama kehidupan mahasiswa. Kebiasaan membaca berfungsi membangun
konstruksi berpikir mahasiswa. Semakin banyak membaca wawasan berpikir
akan makin luas. Kita dapat menyaksikan bacaan seseorang dapat
menentukan kualitas kehidupannya. Tak heran di negara maju seperti AS
dan Jepang, membaca menjadi rutinitas harian. Mereka meluangkan dan
mengisi waktu dengan membaca. Sebuah kebiasaan yang memantik kemampuan
kognisi seorang manusia modern. Mahasiswa tarbiyah sejatinya harus
membiasakan diri membaca. Kebiasaan ini dipupuk agar kompetensi dan daya
saing meningkat. Sehingga dalam kehidupan kampus, aktivis tarbiyah
tidak diremehkan sisi akademisnya. Jika ini mampu dilakukan tunas
tarbiyah akan berkembang dan bercitra baik di mata civitas akademika.
Kedua,
menulis sebagai ajang ekspresi kemampuan menuangkan kata. Masalah
sebagian besar mahasiswa adalah mereka gagal menuangkan perkataan dalam
bahasa tertulis. Kaum tarbiyah harus mampu merubah “nilai negatif” itu,
kemudian menyulap menjadi sebuah nilai ilmiah. Menulis harus dibiasakan
sebab cenderung bertahan lama dan mendifusi pemikiran ke publik. Jika
seorang aktivis tarbiyah mampu menulis, katakanlah di sebuah media
kampus. Dia mampu melawan opini negatif atas berbagai komentar miring
terhadap aktivitas ke-Islaman kampus. Bahkan tak jarang, tulisan mereka
mampu mengubah opini publik atas sebuah isu. Jika dikaitkan kehidupan
akademis, menulis dapat merambah ranah ilmiah. Bukan tidak mungkin,
kompetisi ilmiah mampu dimenangi aktivis tarbiyah. Dalam beberapa tahun
belakangan itu sudah terjadi. Kaum tarbiyah mampu membuktikan dirinya
berkualitas dengan memenangi kompetisi karya tulis ilmiah.
Ketiga
diskusi sebagai ajang pertukaran, pencerdasan dan kematangan gagasan.
Diskusi harus mulai digencarkan aktivis tarbiyah agar kegiatan
pencerdasan publik berjalan baik. Kebiasaan berdiskusi akan mampu
menghasilkan rumusan berpikir konstruktif dan solutif. Nalar dan kognisi
mahasiswa semakin berkembang, sehingga rumusan pemikiran menghasilkan
aksi nyata. Kegiatan diskusi baik formal atau nonformal harus
menghidupi ruang kelas, pojok taman bahkan bangku seminar. Aktivis
tarbiyah harus mampu berargumentasi logis dan epistemologis. Pemikiran
sistemik secara tidak langsung membantu pesona tarbiyah semakin eksis di
kalangan mahasiswa.
Manusia Cerdas Bermoral
Penulis
meyakini tarbiyah sebagai proses pembentukan manusia cerdas dan shalih.
Tanpa keimanan, kecerdasan menjadikan kita buta akan realitas. Manusia
buta akan menjadi budak akal dan kehilangan pegangan agama ketika
mengarungi kehidupan. Manusia cerdas tanpa keimanan, hanya menjadikan
diri seorang tuli. Orang tuli bercermin bak sufi yang meninggalkan
kehidupan duniawi. Mereka menganggungkan kehidupan ke-Tuhanan dan
berusaha menghilangkan kehidupan dunia. Tarbiyah tidak seperti itu,
justru hakikat tarbiyah membentuk manusia sempurna. Matang secara akal,
kuat secara ruhani sehingga tercipta manusia cerdas bermoral.
Dinamika
kampus dan kehidupan akademis menjadi batu bata penguat tarbiyah.
Mahasiswa tarbiyah akan dipandang sebagai “leader” jika menampilkan
dirinya sebagai sosok cerdas dan elegan. Jika di kelas, dialah pemimpin
akademis yang layak dibanggakan. Ketika masyarakat kampus membutuhkan,
maka ia siap menuangkan gagasan dan aksi nyata. Keluwesan pergaulan
membuatnya mampu beradaptasi dalam berbagai kondisi lingkungan. Jika
berhasil diimplementasikan, kesan ekslusif perlahan memudar berganti
wajah inklusif. Jadikan kita manusia yang mampu mewarnai tanpa
menghilangkan jati diri sebagai muslim kaffah.