Oleh: muhammadrizqon
dakwatuna.com - Musim haji yang lalu, sahabat saya
Imam, mendapat anugerah yang tidak terduga sebelumnya, yaitu memenuhi
panggilan Allah melaksanakan ibadah haji di Tanah Suci. Anugerah ini
muncul tidak terlepas dari kedekatan dia pada seorang tokoh pemuda yang
sekarang menjadi atasan dan pimpinan kantornya, sebut saja namanya Adhi.
Sebelumnya Imam bertugas di kantor lain. Kepindahan dia ke kantor
instansi pemerintah baru, karena promosi jabatan dan restrukturisasi
pada instansi pemerintah.
Ketika itu dalam forum seminar, di mana yang menjadi pembicara adalah Adhi dan dirinya, dia di tanya,
“Pak
Imam, sudah berangkat haji belum?”Pertanyaan itu bukan mengada-ada,
atau iseng, atau basa-basi. Adhi melihat kapasitas keilmuan Imam sudah
sangat memadai. Dari pembicaraan, sikap dan perilaku, dari ibadah dari
dia lakukan, dan dari perhatiannya pada masalah-masalah yang selalu
dikaitkan dengan sudut pandang Islam. Ditanya seperti itu, dia kikuk,
tetapi terus terang menjawab,
“Belum, Pak.”
“Mau naik haji?”
“Kalau mau sih siapa yang ndak mau ke tanah suci, Pak!”
“Ya
sudah, Pak Imam tahun ini saya tunjuk berangkat naik haji. ” Imam
sahabat saya, tertegun dan seolah tidak percaya. Di tengah ketergunannya
itu dia hanya bisa berucap Alhamdulillah berulang kali dan berterima
kasih kepada Adhi, pimpinan kantornya, atas kepercayaan diberikan
kepadanya.
Dalam hati Imam bergumam, apakah ini jawaban dari
doa-doa yang saya panjatkan selama ini? Sungguh Allah maha pengabul
segala doa. Pergi ke Baitullah telah menjadi keinginan dan cita-citanya
sejak lama. Namun dia pendam kuat-kuat dalam lubuk hatinya. Dia sadar,
kondisi ekonominya kurang memungkinkan. Berapalah tabungan yang bisa
terkumpul dari gaji seorang pengabdi negara. Alih-alih menabung, untuk
memenuhi keperluan anak-anak sekolah dan rumah tangga, dia harus
bijak-bijak mengatur keuangan. Namun Dia juga yakin bahwa Allah Maha
Kuasa atas segala sesuatu, memuliakan orang yang Dia kehendaki, dan
menghinakan orang yang Dia kehendaki. Maka rasa rindu untuk ziarah ke
Baitullah itu, dia tumpahkan dalam bait-bait doa selepas shalat fardhu
dan qiyamullail. Doa tersebut telah menjadi doa rutin, yang senantiasa
terpanjatkan baik secara sadar maupun tidak sadar.
Secara
keilmuan, Imam tidak asing dengan hal-hal yang berkait dengan manasik
haji. Dia dulu pernah belajar di pesantren di daerah pinggiran Semarang,
sebelum akhirnya melanjutkan kuliah di Universitas Diponegoro. Maka
persiapan haji yang dia lakukan relatif ‘aman-aman saja’.
Singkat
cerita, dia berhasil menunaikan ibadah haji dan umrah dengan baik dan
memuaskan. Beberapa hari sebelum pulang ke tanah suci, di berziarah ke
Masjid Nabawi di Madinah. Berkunjung ke Masjid Nabawi dan shalat di
dalamnya adalah hal-hal yang disunnahkan sebelum atau setelah
pelaksanaan ibadah haji dan umrah, karena shalat di dalamnya lebih baik
seribu kali dari shalat di tempat lain kecuali di Masjidil Haram.
Yang
menjadi sasaran utama peziarah Masjid Nabawi adalah sebuah ruang yang
diberi nama ‘Raudhah’. Keutamaan Raudhah ini disampaikan langsung oleh
Rasulullah, ”Di antara rumahku dan mimbarku adalah taman (Raudhah) dari
taman-taman surga. Dan mimbarku di atas kolam. ” (Shahih Bukhari).
Berdoa di Raudhah adalah mustajab. Keyakinan inilah yang membuat jamaah
haji dari berbagai negara yang berada di Madinah, berbondong-bondong
menuju Masjid Nabawi sekaligus untuk dapat memanjatkan doa di Raudhah.
Tapi Taman Surga yang terbatas itu hampir tak sebanding dengan ribuan
jamaah yang ingin sekadar meletakkan dahi bersujud dan memanjatkan doa
serta salam bagi Baginda yang Mulia. Perjuangan menuju Raudhah cukup
berat, dibutuhkan kondisi prima, daya juang tinggi, stamina memadai, dan
tak kalah penting adalah kesabaran. Sebab di tengah ‘jubelan’ dan
desakan manusia, tidak boleh menyakiti orang. Baik dengan kata-kata
kasar atau ‘bahasa tubuh’ yang menyakitkan.
Saat tiba di Masjid
Nabawi, selepas menunaikan haji dan umrah, Imam seolah berada di dalam
dua pusaran yang bersinggungan. Satu sisi dia ingin mencapai Raudhah dan
berdoa di sana. Satu sisi lain, dia mengetahui bahwa berdesakan dan
berebutan yang berakibat menyakiti orang, hukumnya haram. Dia, dan
teman-teman satu khafilah, ragu dan merasa kecut. Rasanya berat untuk
berdesak-desakan dan memaksakan diri ke sana. Teman satu khafilah,
bernama Ummu Umair, bercakap dengan dia,
“Pak Imam, tolong doakan
sahabat saya ini. Saya rasanya tidak sanggup ke sana.” Kata Ummu Umair,
sambil menyerahkan secarik kertas bertuliskan sebuah nama.
“Oh ya.
Ini Bu Aisyah siapa?” dia bertanya tentang sebuah nama yang tercantum
pada secarik kertas. “Apa Bu Aisyahnya Pak Hariz?” Dia menyebut salah
satu nama sahabatnya.
“Waduh, saya nggak tahu. Pokoknya ini sahabat dekat saya. Minta tolong didoakan”.
Aneh dalam pikiran Imam. Ummu Umair yang mengaku sahabat dekat Aisyah tetapi tidak mengetahui barang sedikit perihal suaminya.
“Tinggalnya di mana Ummi?” Imam bertanya lebih lanjut.
“Di Jatiwaringin, Pondok Gede”
Klop
. Imam yakin, Aisyah yang dimaksud adalah istri dari sahabat yang
dikenalnya. Tiba-tiba semangatnya bangkit. Ikatan ukhuwahnya mengencang.
Dengan kesabaran yang dimiliki, dia coba menembus kerumunan massa yang
berdesak-desakan. Tidak disangka, dengan cepat dia telah sampai di
Raudhah. Subhanallah. Dia takjub dan penuh syukur. “Kekuatan apa yang
menjadikan saya mudah melakukan ini?” Gumam hatinya penuh tanda tanya.
***
Ketika
sampai di Raudhah, berbagai bayang keajaiban melintas dalam pikirannya
secara berulang ulang. Pertemuan dengan tokoh yang hanya mungkin terjadi
karena reformasi politik, doa yang terkabul tanpa diduga, dan kemudahan
bertemu Raudhah. Rasanya Allah telah membukakan jalan-jalan bagi
terkabulnya doa, yang berakibat dia berada di sini. Sekarang ini. Tak
pelak lagi, dia merasa betapa besar perhatian Allah pada dirinya. Betapa
kasih dan sayangnya Allah pada dirinya. Hatinya bergemuruh dan pecah.
Air matanya berderai, tangis batinnya sesunggukan, dan suara pun
terbata-bata menghiba. Dia tertunduk, tertunduk serendah-rendahnya di
hadapan Sang Maha Raja Diraja, di hamparan Raudhah sang Taman Surga.
Bayangan dosa, kekhilafan, silih berganti muncul dengan bayang taman
surga. Suaranya sayup, timbul-tenggelam dalam kekhusyukan doa.
Itulah
kisah Imam yang rintihan doanya terkabul, karena Allah memberikan
petunjuk pada dirinya sehingga terbuka jalan menuju keterkabulannya.
Kisah ini juga mengisyaratkan tentang suatu hak yang harus ditunaikan.
Yaitu hak ukhuwah.
***
Saya teringat kisah sahabat yang
mendamba syahid di peperangan. Ketika ditanya rasul apa yang menjadi
cita-citanya, dia jawab ‘syahid dalam peperangan’, maka rasul berkata
‘kamu pasti akan menemuinya, jika kamu jujur’. Terbukti kemudian,
sahabat itu menemui syahidnya.
Doa yang jujur akan menemukan jalan
bagi keterkabulannya. Kita berdoa agar diberi kesempatan pergi haji ke
Baitullah, namun dari lubuk hati terdalam kita menginginkan rumah atau
mobil atau hal lain yang lebih dominan dari itu. Pantaslah jika
‘keinginan kita’ tiada pernah terwujud. Kejujuran doa juga tercermin
dalam perilaku keseharian. Jika Sang Hamba berdoa minta rezeki kecuali
yang halal, tentu dia akan hati-hati langkahnya, mematuhi
rambu-rambunya, sehingga diperoleh apa diimpikannya. Maha Benar Allah
yang berfirman: “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang
Aku, Maka (jawablah), bahwasanya aku adalah dekat. Aku mengabulkan
permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka
hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka
beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran. ” (2:186).
Dan
ukhuwah, adalah penguat hati. Terkadang kita merasa lemah jika harus
berjuang sendirian. Kehadiran ‘saudara’ atau kecintaan kepada saudara
atau kecintaan untuk memperoleh kebaikan dan manfaat bersama, mampu
menguatkan hati dan membangkitkan jiwa yang lemah. Kisah-kisah sahabat
di zaman Rasul mengajarkan, betapa keikhlasan yang melahirkan ukhuwah,
membuka jalan bagi kemenangan dan takluknya kota Makkah (Fathu Makkah)
di mana Rasul pernah bermimpi sebelumnya: ‘memasuki kota Makkah dengan
aman dan tanpa hambatan’.
Waallahua’lam Bishshawaab