dakwatuna.com - Dengan
apa prestasi bisa dilihat di dunia ini? Ya, piala adalah salah satu
yang paling kentara di antara yang lain. Sejak usia SD, kita telah kenal
atau setidaknya pernah melihat benda yang satu ini. Kebanyakan berwarna
kuning keemasan, terkadang tinggi, ada bulatan, dan tertulis prestasi
yang kita raih.
“Juara I Lomba … Tingkat … “
Kebanggaan
adalah hal yang lumrah menyeruak saat nama disebut dan tangan menerima
piala untuk kali pertamanya. Terbayar sudah rasanya pengorbanan dan
perjuangan sebelumnya. Terbayang pula senyum dan ucapan selamat yang
akan diterima dari orang-orang di sekitar. Jadilah bertambah koleksi
piala di lemari atau kamar kita.
Akan tetapi, janganlah berbangga jika hanya itu yang kita raih. Kenapa?
Piala
memanglah satu hal yang menjadi pembuktian akan prestasi seseorang.
Namun, kebaikan dan manfaat dari prestasi dan perjuanganlah yang penting
untuk dikhawatirkan. Jangan-jangan prestasi yang kita raih tiada
sedikit pun berimbas manfaat kepada orang di sekitar kita. Jangan-jangan
apa yang kita raih malah menyakiti orang lain karena cara kita yang tak
baik dalam pencapaiannya.
Tak berharga sebuah prestasi, yang paling memukau sekalipun jika diraih dengan menciderai keyakinan, keimanan, dan kejujuran. (Fauzil Adhim, 2011)
Sebut
saja Rasulullah SAW. Tiada yang sanggup menyangkal bahwa beliaulah
manusia yang terbanyak prestasinya. Piala yang diberikan pada beliau pun
tidak main-main, keridhaan Allah dan surga.
Maka dari itu,
selayaknya kita sebagai manusia yang masih terus berproses tiap harinya
menyadari. Sadar bahwa dalam setiap amal dan perjuangan kita tiadalah
tepat jika berorientasi hanya pada piala. Piala dalam hal ini bukan
hanya benda berbentuk piala akan tetapi lebih kepada penghargaan dan
pengakuan dari masyarakat.
Kurang bijak kiranya jika kita berbuat
hanya untuk mendapat pengakuan akan eksistensi diri di antara manusia.
Perjuangan kita hanya akan dinilai sampah di mata Sang Haq, Allah SWT.
Terlebih seorang da’i, sebagai kepanjangan tangan dari perjuangan mulia
Rasulullah SAW. Sangat sayang rasanya jika besar dan mulianya perjuangan
beliau terkotori dan tersempitkan oleh perilaku kita yang meniatkan
amal dakwah kita untuk mendapat kesenangan dunia.
Tatkala karakter yang menjadi kegelisahan utama, prestasi akan menyertai. Prestasi muncul sebagai akibat, bukan tujuan. (Fauzil Adhim, 2011)
Maka, refreshkan kembali niatan amal kita. Jika masih ada embel-embel karena
ingin dilihat baik oleh si A, maka beristighfarlah. Kalau masih ada
pengharapan ingin mendapat ini dan itu di dunia, maka bermuhasabahlah.
Allahlah
yang layak menilai amal kita. Kita sebagai manusia memang boleh untuk
meminta dan mengharapkan kemudahan dan kenikmatan hidup. Namun, lebih
dari itu, satu hal yang layak kita harapkan adalah benar-benar sebuah
piala hakiki. Yakni, piala dari Allah berupa keridhaan-Nya dan pertemuan
dengan-Nya di surga.
Maka dari itu, luruskan kembali niatan
perjuangan kita. Bayangkanlah jika kita telah lulus dari semua tahapan
kehidupan ini, Allah dan surga telah menanti di hadapan. Muncul sebuah
tiket gold untuk kita:
“Selamat, Anda Berhak Masuk Surga Firdaus!”