Oleh: Musyafa Ahmad Rahim, Lc
dakwatuna.com - Di suatu waktu, terdengarlah “desah”
nabi Zakariya – ‘alaihis-salam -: “Ya Allah Rabb-ku, sesungguhnya
tulang belulangku sudah rapuh, kepalaku sudah menyala putih karena uban
dan istriku mandul. Namun, ada satu hal yang membuat diriku khawatir,
takut, cemas dan bersedih, yaitu, belum jelasnya seorang penggantiku,
pelanjutku dan pewarisku, dan aku tidak pernah berputus asa untuk terus
memohon dan memohon kepada-Mu, berikanlah kepadaku seorang pelanjut,
seorang pengganti dan seorang pewaris, yang melanjutkan misi dan
risalahku, misi keluarga besar nabi Ya’qub - ‘alaihis-salam -, pewaris
yang akan membimbing, membina dan mendidik Bani Israil, membimbing dan
membina mereka kepada ajaran-Mu”.
Bukan Soal Harta dan Kedudukan
Apa
yang menjadi keprihatinan dan kepedihan nabiyullah Zakariya -
‘alaihis-salam – bukanlah soal masa depan makanan dan logistik Bani
Israil, sebab ia yakin betul bahwa rezki, makanan, dan logistik Bani
Israil sudah dijamin dan ditanggung Allah SWT.
Bukan pula soal
jabatan dan kedudukan duniawi mereka, sebab mereka pasti akan menentukan
pilihan mereka sendiri seandainya tidak ada ketentuan dari Allah SWT,
dan sepertinya peminat dalam hal ini sangatlah banyak.
Bukan pula
soal perjodohan laki dan perempuan di antara sesama mereka, sebab fitrah
dan naluri mereka telah cukup untuk menggerakkan mereka dalam hal ini.
Bukan pula soal perhiasan-perhiasan dunia lainnya, sebab semua manusia telah tercipta dengan membawa kecenderungan terhadapnya.
Namun,
yang menggelisahkan, mengkhawatirkan dan memprihatinkannya adalah soal
statusnya sebagai juru dakwah, sebagai murabbi, sebagai pembimbing dan
sebagai pembawa masyarakat kepada jalan yang lurus, jalan para nabi dan
rasul, jalan para shiddiqin, syuhada dan shalihin, jalan yang telah
digariskan Allah SWT untuk dititi dan dirambah umat manusia.
Dan
pada kenyataannya, peran dan fungsi seperti inilah yang sedikit sekali
peminatnya, berbeda dengan peminat harta, tahta dan jabatan, sehingga,
meskipun pintu pendaftaran telah dibuka seluas-luasnya, berbagai bentuk
targhib (penggemaran dan iming-iming bagi yang mau melakukan) serta
tarhib (pemaparan hal-hal yang menakutkan bagi yang tidak mau melakukan)
sudah dikemukakan, reward and punishment sudah dipaparkan, pada
kenyataannya, yang mendaftarkan diri secara sukarela tetap saja sedikit,
minim dan tidak sebanding dengan para peminat dan pendaftar peran dan
fungsi lainnya.
Kenyataan seperti inilah yang membuat prihatin nabiyullah Zakariya - ‘alaihis-salam -
Untuk
itulah, beliau sampaikan keprihatinan ini kepada Allah SWT, Dzat yang
Maha Mendengar, Dzat yang Maha Mengabulkan, Dzat yang Maha Pengasih,
Penyayang dan yang Maha Kuasa, Pencipta dan Pengatur seluruh alam.
Bukan Hanya Sekali Dua Kali
Penyampaian
keprihatinan seperti ini bukan hanya sekali dua kali disampaikan nabi
Zakariya - ‘alaihis-salam – kepada Allah SWT, tetapi, berkali-kali,
sering dan terus menerus. Dan meskipun tanda-tanda terkabulkannya tidak
segera kunjung tampak, namun dia terus menerus sampaikan keprihatinan
itu, tidak ada kata putus asa, tidak pernah pupus dan sirna harapannya
“walam akun bidu’aika Rabbi syaqiyya”.
Bukan hanya tidak berputus
asa, tetapi, selalu memanfaatkan waktu, tempat dan moment-moment
istijabah untuk mengulangi dan mengulangi lagi penyampaian keprihatinan
dan permohonannya. Oleh karena itu, pada suatu hari, saat ia memasuki
mihrab Maryam, dan dia dapati di sisi Maryam ada makanan dan minuman,
dan setelah dia mendapatkan kepastian bahwa makanan dan minuman itu
datang dari Allah SWT, yang berarti, kemungkinan besar, saat itu dan di
tempat itu baru saja turun rahmat Allah SWT, dan sangat mungkin rahmat
itu belum beranjak dari situ, maka seketika itulah sekali lagi ia
panjatkan keprihatinan dan permohonannya kepada Allah SWT, agar Dia
memberikan keturunan kepadanya, keturunan yang shalih, keturunan yang
baik, yang akan mewarisi dan menjadi pelanjut dari misi dan tugasnya.
“Hunalika da’a Zakariyya Rabbahu …”
Ia tidak peduli lagi dengan
keadaan dirinya yang tua renta, tidak peduli lagi dengan kondisi
istrinya yang mandul, yang secara teori tidak mungkin lagi memiliki
keturunan, sebab ia yakin, rahmat dan kekuasaan Allah SWT jauh di atas
semua teori tadi.
Berqudwah Kepada Nabi Zakariya
Al-Qur’an
menceritakan kisah nabi Zakariya - ‘alaihis-salam – bukan sekedar
menjadi hiburan, namun, untuk dijadikan ibrah, dan diikuti nilai-nilai
ke-qudwah-annya.
Pos-pos jabatan struktural, alhamdulillah telah terisi secara cukup dan bahkan memadai.
Pos-pos jabatan publik, alhamdulillah banyak sekali yang berminat.
Namun,
berapa banyak yang bermimpi dan berminat menjadi juru dakwah? Berapa
besar pula minat dan animo masyarakat untuk menjadi murabbi? Siapakah
dan berapakah yang menyambut seruan banyak ikhwah di daerah, di kampus,
sekolah dan lainnya: “mana juru dakwah? Mana murabbi? Silakan datang ke
sini!”
Tidakkah situasi ini mendorong kita untuk prihatin? Bersedih? Dan lalu mengadukannya kepada Allah SWT?
Tidakkah
kenyataan ini mendorong kita untuk bekerja bersungguh-sungguh dalam
menyiapkan dan memperbanyak jumlah juru dakwah dan murabbi? Sambil terus
menerus dan tidak henti-hentinya berdoa dan memohon kepada Allah SWT
agar memberikan ketegaran dan keteguhan (tsabat) kepada kita dalam
meniti jalan dakwah serta memudahkan segala urusan dakwah dan tarbiyah
ini?
“Wa inni khiftul mawaliya min wara-i… fahab li min ladunka waliyyan yaritsuni…”
Barakallahu li walakum fil Qur’anil azhim wanafa’ani waiyyakum bima fihi minal ayati wadz-dzikril hakim, amiiin.