Oleh: kiptiah hasan
dakwatuna.com - Betapa sulitnya kita menahan amarah,
betapa tak mudahnya mempraktekkan sifat sabar. Banyak orang yang
menguasai teori kesabaran tapi tak banyak yang mampu mengaplikasikannya
dalam keseharian. Bisa jadi di antara orang-orang tersebut adalah saya.
Untuk itu, hari ini saya ingin membuat sedikit catatan lagi sebagai
pengingat diri sendiri khususnya dan kawan-kawan sekalian.
Kemarin
saya hadir dalam undangan pernikahan seorang kawan. Saya hanya ingin
mengambil satu adegan dalam perhelatan sakral tersebut. Yaitu tatkala
para undangan mengantri makanan. Saya lihat, mereka begitu sabar menanti
dalam antrian untuk mendapatkan makanan yang mereka sukai. Antrian yang
saya lihat cukup panjang, tapi saya tak mendengar adanya keluhan yang
terlontar. Mungkin saja karena tempatnya cukup kondusif, berada di dalam
gedung mewah dan ber-AC. Bisa di bilang cukup nyaman.
Tapi
sayangnya, jarang saya melihat kesabaran seperti itu jika kondisi yang
di hadapi jauh dari kesan kenyamanan. Misalnya, ketika kita sedang
berada di dalam angkot menuju tempat kegiatan. Tak sesuai dengan
kenyataan dan terjadilah kemacetan. Perkiraan waktu pun jauh melesat,
yang tadinya di perkiraan pukul segini harusnya sudah sampai tujuan
ternyata masih di jalan karena terjebak kemacetan.
Melihat dua
kondisi di atas, terdapat persamaan yaitu sama-sama mengantri untuk
mendapatkan sesuatu yang di inginkan. Tapi sangat berbeda dalam
prosesnya. Memang jika di lihat kondisinya sangat bertolak belakang.
Jika yang pertama kondisinya sangat kondusif dan tidak dikejar waktu
sedangkan yang kedua seperti di kejar waktu.
Jika di telisik maka
cara penyelesaian dari kedua kondisi di atas adalah kesabaran. Jika pada
kondisi pertama kita bisa sabar karena kondusif, mengapa kita tak bisa
membuat kondisi yang kedua pun menjadi kondusif.
Karena kondusif
bukan tercipta dari suasana sekitar tapi dari hati kita, dari diri kita.
Kenyamanan akan tercipta jika kita bisa membuatnya nyaman bahkan ketika
dalam situasi yang tergolong menyebalkan.
Jika saya berkata,
bahwa semua hal pasti akan kembali pada Allah termasuk masalah ini.
Memang benar yang saya rasakan seperti itu. Kita butuh Allah. Karena
semua masalah hanya bisa teratasi jika kita mengingat Allah dan
menyerahkan semuanya kepada Allah. Sedikitlah melembutkan hati untuk
mengingatNya bahkan ketika dalam suatu keadaan yang menghimpit. Jika
belum percaya dengan teori yang saya katakan, bisa di laksanakan. Memang
tak ada kuncinya selain melembutkan hati. Ingatlah Allah, merasai Dia
hadir di dekat kita. Hanya orang-orang yang yakin yang bisa
membuktikannya. Yakin akan kasih sayang Allah. Yakin akan kuasa Allah.
Karena Allah teramat sayang kepada hambaNya. Jangan melulu menuruti hawa
nafsu. Minimal berpikirlah dampak buruk yang akan terjadi pada
lingkungan sekitar jika menuruti bisikan nafsu. Saya yakin hawa nafsu
tak akan bisa menyelesaikan satu masalah pun.
Kita memang bukan
makhluk sempurna, tapi bukan juga makhluk yang berhenti untuk mendekati
kesempurnaan. Yah, meskipun kita tertatih mendekatiNya, mencapai
ridhoNya tapi Allah akan tetap menilai proses kita.
Semoga kita selalu di lindungi dengan sifat kesabaran dalam situasi apapun. Aamiin.